Hi there!
Perkenalkan saya Rina Mustifany, delegasi Kepulauan Riau untuk Pertukaran
Pemuda Indonesia – Australia 2017 atau lebih dikenal dengan Australia Youth
Exchange Program (AIYEP) 2017. Setelah melewati begitu banyak tahap mulai dari
seleksi provinsi, training provinsi diikuti dengan training pusat dan akhirnya
dilantik menjadi peserta utama dalam program yang sangat mengubah hidup saya
secara keseluruhan. Kebanyakan orang akan berfikiran bahwa program seperti ini
akan merubah hidup para peserta dari segi akademik tetapi untuk saya pribadi
saya merasa life changing dari segi
religius. Nah dikesempatan kali ini saya akan mengupas mengenai pengalaman saya
selama program dan juga apa yang saya rasakan secara pribadi.
Setelah
mengikuti Pre Pre-Departure Training (PDT) di tingkat provinsi, kita mengikuti
PDT di tingkat Nasional atau lebih dikenal dengan sebutan PDT Pusat yang
diadakan dengan kerjasama Alumni AIYEP beserta Kemenpora. Dalam PDT Pusat
tentunya kami dibekali dengan informasi dan persiapan ilmu yang akan digunakan selama
masa program berlangsung. Disitu juga kami diberikan kesempatan untuk menjadi
lebih dekat dengan para delegasi dari berbagai provinsi, sama juga dengan PDT
Provinsi yang mendekatkan saya dengan para peserta dari berbagai kota dan
kabupaten di Kepulauan Riau. Setelah menjalani training pusat selama 7 hari,
kami langsung diberangkatkan ke Australia. Program AIYEP dilakukan selama 4
bulan dan dibagi 2 bulan untuk fase Australia dan 2 bulan di fase Indonesia.
Fase Australia kami habiskan di Sydney untuk fase kota dan New Castle untuk
fase desa, masing-masing dilakukan selama 3 minggu.
Selama
di Sydney saya berkesempatan untuk melakukan internship atau magang di salah satu perusahaan start-up di Sydney,
Tyroola. Selama magang di Tyloora selama 3 minggu, saya banyak belajar mengenai
etika bekerja di Australia yang sangat menghormati pendapat dan performa setiap
pekerja. Kantor tempat saya bekerja juga sangat cool dengan interior yang sangat modern seperti adanya Google vibe. Selama bekerja di Tyroola,
saya dapat merasakan berbagai perayaan seperti Melbourne Cup dan BBQ party yang
diadakan di kantor setiap minggunya. Untuk fase Indonesia, saya berkesempatan
bekerja di Ombudsman Provinsi Bengkulu yang mengajarkan saya banyak hal
mengenai mekanisme penyelesaian suatu masalah dan hukum pemerintahan di
Indonesia khususnya di daerah Bengkulu. Ketika magang di Bengkulu saya juga
bekerja bersama delegasi dari Lampung Cinda dan juga peserta dari Australia
yaitu Owen dari Sydney dan Dan dari Canberra.
Selain
internship, program AIYEP juga memberikan saya banyak keluarga angkat di
Australia maupun di Indonesia. Untuk fase Australia, saya mendapat Anderson
Family sebagai keluarga angkat dengan dua delegasi lainnya yaitu dari DKI
Jakarta dan Sumatera Barat. Ketika tinggal bersama Jane dan Peter, kami sangat
bahagia karena dapat benar-benar merasakan budaya tinggal di Australia dan
kebetulan kami tinggal di tengah kota yaitu di Liverpool Street. Jane dan
Peter, orang tua angkat kami dan juga Alice, saudara angkat kami, sangat
terbuka dan mengajarkan kami banyak hal dari mulai diskusi tentangs segala hal
maupun tentang hal-hal berat lainnya seperti politik dan agama. Tentunya itu
membuka wawasan dan paradigma saya
khususnya untuk beberapa hal. Kami juga berkesempatan untuk memasakkan makanan
khas Indonesia seperti ayam balado, gado-gado dan capcay. Untuk makanan
penutup, Jane dengan baik hati membuatkan kami Pavlova, kue khas Australia yang
biasanya disantap ketika perayaan berlangsung.
Sedangkan di
Bengkulu sendiri saya juga mendapat orang tua angkat, di fase desa dan kota. Di
desa, kami bertempat di Desa Rejang Lebong, Bermani Ulu dan untuk fase kotanya
sendiri di kota Bengkulu. Orang tua angkat kami di fase desa sangat mengajarkan
kami tentang kesederhanaan dan juga keramahan mereka dalam menyambut kami
sebagai anggota keluarga baru. Sedangkan untuk orang tua angkat selama di kota,
kami sangat di jamu dengan berbagai makanan khas Bengkulu yang menurut saya
sangat sedap seperti lobster, kepiting, nasi uduk dan rendang kerang. Nah
selama tinggal di Bengkulu, saya dipasangkan dengan counterpart saya yang
berasal dari Sydney bernama Sally Swinnen. Dia sangat mencintai budaya
Indonesia sehingga lebih suka dipanggil dengan nama Sulis. Sally merupakan hal
terbaik yang saya dapatkan selama program, begitu banyak pelajaran yang saya
dapatkan ketika tinggal bersamanya. Dari mulai persoalan pribadi hingga
diplomasi antar negara. Saya mempunyai hati yang sangat baik sehingga melalui itu
juga saya banyak belajar darinya mulai dari kebiasaan hingga cara menghadapi
suatu masalah.
Komponen
paling penting dalam AIYEP adalah Cultural Performance atau penampilan budaya.
Begitu banyak yang saya pelajari dari delegasi-delegasi provinsi lain mengenai
tarian masing-masing daerah dan juga lagu daerahnya. Untuk tarian massal kami
mempertunjukkan tari saman dan saya kebetulan menjadi seorang syahi atau
penyanyinya untuk tarian massal tersebut. Selain itu banyak lagi yang kami
tampilkan untuk dari mulai tari rapai yang juga dari Aceh hingga tari Gemu
Famire dari Nusa Tenggara Timur. Dari sini saya menyadari bahwa Indonesia
sangat kaya akan budaya yang sangat indah dan mempunyai maknanya masing-masing.
Keragaman budaya dan kebiasaan tersebutlah yang menjadikan Indonesia lebih
indah dan istimewa.
Nah setelah
ngomongin program secara keseluruhan, saya akan menyentuh sedikit mengenai
judul dari tulisan saya ini. Titik Hijrah, mengapa saya mengatakannya demikian?
Karena sungguh program ini membuat saya untuk memutuskan memakai hijab. Begitu
banyak insiden selama di Australia yang membuka mata saya sebagai seorang muslim,
maka jadilah saya memulai memakai hijab ketika fase Indonesia. Tidak pernah
sebersitpun saya berfikir sebuah negara liberal seperti Australia akan
mengajarkan dan membuka mata saya tentang Islam. Begitu banyak pembicaraan
tentang agama khususnya agama islam dan banyak juga yang melontarkan pertanyaan
mengenai hijab ke saya pribadi. Saya sangat menghormati pembicaraan seperti
ini, yang membuat saya banyak belajar mengenai kebaikan dari siapapun walaupun
yang bersangkutan bukan beragama islam. Saya juga sangat bersyukur karena
dikelilingi oleh peserta-peserta Indonesia AIYEP 36 yang sangat luar biasa,
yang terus memberikan saya semangat untuk belajar dan menjadi lebih baik.
Selama di
Bengkulu juga kami mengerjakan Community Development, dan saya kebetulan
tergabung dalam Divisi Pendidikan. Salah satu program kami adalah mengadakan “Balai
Inggris” yang mengajarkan anak-anak SD bahasa Inggris. Dari program AIYEP 2017
ini saya menyadari bahwa hidup ini tidak sepenuhnya untuk kita. Banyak sekali
yang dapat kita lakukan untuk memberikan kebaikan dan menjadikan dunia ini
lebih baik. Hal ini tidak haruslah harus selalu besar, kebaikan bisa selalu
dimulai dan dilakukan dari hal-hal kecil. Kalau saya ditanya apakah saya
merekomendasikan PPAN dan menjadi Duta Muda Indonesia? Tanpa berfikir saya akan
menjawab TENTU SAJA, YA!
No comments:
Post a Comment